Minggu, 23 November 2014

Analisa Kebutuhan Pembiayaan

Cara mengevaluasi kebutuhan pembiayaan berdasarkan jenisnya yang lazim dibiayai dibagi menjadi:
  1. Untuk Modal Kerja Tetap dan Musiman (Peningkatan Piutang dan Persediaan)
  2. Untuk Investasi (Peningkatan Aktiva Tetap)
Adapun alat yang dapat dipergunakan untuk mengevaluasi

kebutuhan pembiayaan untuk modal kerja tetap dan musiman dapat menggunakan pendekatan/metode:
1)      Metode Quick & Dirty Approach
2)      Sustainable Growth Rate Model
3)      Cash Flow Analysis

Metode Quick & Dirty Approach

Cara menganalisis kebutuhan modal kerja yang secara cepat dapat dilakukan untuk menetapkan plafond pembiayaan dari satu nasabah adalah dengan menggunakan konsep asset working caoital turnover period yaitu perputaran modal kerja dimulai dari saat kas diinvestasikan dalam komponen modal kerja seperti persediaan, piutang sampai menjadi kas kembali.

Contoh soal 1

PT INSAN MUDA mempunyai kondisi keuangan seperti di bawah ini mengajukan pembiayaan ke bank untuk meningkatakan pertumbuhan penjualan tahun 2002 sebesar Rp5.000.000.000,-

Keterangan
Uraian
Tahun 2001
Nominal
(Rp.000,-)
Neraca
Kas dan bank
4.262.180

Surat berharga
613.000

Piutang usaha
12.024.588

Persediaan
1.286.562

Uang muka biaya
8.737.424

Biaya dibayar di muka
3.472.497

Aktiva lancer
30.396.251

Aktiva tetap
13.640.292

Penyertaan
4.604.304

Aktiva lain2
13.999.849

Total Aktiva
62.640.696

Utang dagang
2.660.821

Utang lancar lain
7.811.821

Utang bank jatuh tempo 1 thn
7.700.168

Utang lancar
18.172.271

Utang jangka panjang
23.640.519

Modal
17.157.552

Laba tahun berjalan
3.670.354

Total Pasiva
62.640.696



Laba Rugi
Penjualan
54.748.743

Harga pokok penjualan
42.686.254

Biaya umum & administrasi
3.663.096

Laba operasi
8.399.393

Biaya2 lain
5.977.254

Pendapatan lain2
1.248.215

Laba sebelum pajak
3.670.354

Days Receivable (DR)     = Piutang/Penjualan x 360 hari
                                                                = 12.024.588/54.748.743 x 360
                                                                = 79 hari

Days Inventories (DI)     = Persediaan/HPP x 360 hari
                                                                = 1.286.562/42.686.254 x 360
                                                                = 11 hari

Days Payable (DP)                           = Utang dagang/HPP x 360 hari
                                                                = 2.660.821/42.686.254 x 360
                                                                = 22 hari

Cash to cash period                         = DR + DI – DP = 79 + 11 – 22 hari
                                                                = 67 hari

Proyeksi penjualan dengan pertumbuhan 30% adalah
= Rp54.748.743,-
= Rp71.173.365,-

Kebutuhan pembiayaan dalam tahun 2002 dapat dihitung sebagai berikut:
= 67/360 x Rp71.173.365,-
= Rp13.246.154,-

Sementara modal kerja yang sudah ada yaitu Net Working Capital (aktiva lancar – utang lancar) adalah:
= Rp30.396.251 – Rp18.172.271
= Rp12.223.980,-

Sehingga pembiayaan yang layak diberikan kepada nasabah adalah:
= Rp13.246.154 – Rp12.223.980
= Rp1.022.174,-


Sustainable Growth Rate Model
Konsep dasarnya adalah “Dalam dunia bisnis, untuk mnghasilkan tambahan volume/nilai penjualan diperlukan adanya tambahan dana untuk investasi dalam piutang, persediaan maupun aktiva tetap.”

Kegunaan model ini dapat dipakai untuk:

ü  Menentukan besarnya kebutuhan pembiayaan dari nasabah
ü  Mendeteksi kemungkinan terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan pembiayaan oleh nasabah (monitoring pembiayaan).

Sustainable Growth Rate (SGR) didefinisikan sebagai “tingkat pertumbuhan nilai penjualan yang diikuti dengan tingkat struktur modal (capital structure) yang stabil yang diharapkan tidak akan menimbulkan problem keuangan bagi perusahaan yang bersangkutan, sehingga dapat dikatakan bahwa sustainable growth rate merupakan tingkat pertumbuhan penjualan yang seimbang”.

Untuk merealisasikan volume/nilai penjualan, diperlukan adanya aktiva (asset) dan kemampuan aktiva untuk menghasilkan nilai penjualan, ini dinyatakan sebagai capital output ratio. Dengan capital output yang konstan, tambahan nilai penjualan akan bisa direalisasikan bila ada tambahan aktiva. Tambahan sisi aktiva sebagai pemakai dana (uses of funds) akan terjadi bila ada tambahan sisi pasiva sebagai dana (sources of funds). Penyedia dana dapat berasal dari modal maupun utang.

Besarnya SGR akan dipengaruhi oleh:
1.       Tingkat Capital Output Ratio, yaitu kemampuan aktiva untuk menghasilkan nilai penjualan yang dihitung dengan membagi aktiva dengan penjualan. Besarnya Capital Output Ratio akan menentukan besarnya aktiva yang diperlukan untuk menghasilkan nilai penjualan tertentu.
2.       Tingkat Net Profit Margin (keuntungan setelah pajak)
3.       Kebijakan deviden (devidend policy), yang akan menentukan besarnya Devidend Payout Ratio (rasio deviden yang dibagi terhadap keuntungan setelah pajak) dan Retention Ratio (rasio laba ditahan terhadap keuntungan setelah pajak). Retention ratio akan menentukan besarnya tambahan equity di sisi pasiva.
4.       Tingkat Debt to equity Ratio (rasio utang terhadap modal sendiri yang diinginkan optimal)

Untuk mempermudah perhitungan maka faktor-faktor tersebut di atas perlu dinotasikan dalam simbol-simbol sebagai berikut.

pm = tingkat keuntungan setelah pajak (net profit margin)
dp = rasio pembayaran deviden terhadap keuntungan setelah pajak (deviden payout ratio), sehingga 1 – dp adalah merupakan rasio keuntungan setelah pajak yang ditahan (retention ratio).
de = rasio utang terhadap kekayaan sendiri (debt to equity ratio)
co = jumlah aktiva yang dibutuhkan untuk menghasilkan penjualan (capital output ratio/aktiva dibagi penjualan)
cs = nilai penjualan pada tahun sebelumnya (exsisting sales)
as = tambahan nilai penjualan (additional sales) untuk tahun ini.


Berdasarkan simbol-simbol di atas, maka:

ü  pm(es + as)(1 – dp) adalah merupakan tambahan modal sendiri.
ü  (pm(es + as)(1 – dp))de adalah merupakan tambahan utang
ü  as(co) adalah merupakan tambahan aktiva yang diperlukan

Karena SGR dapat dihitung dengan menyamakan tambahan di sisi aktiva dan tambahan di sisi pasiva, maka formula perhitungan SGR adalah sbb:

as(co) = pm(es + as)(1 – dp) + (pm(es + as)(1 – dp))de
as(co) = pm(es + as)(1 – dp)(1 + de)
as(co) = pm(1 – dp)(1 + de)es + pm(1 – dp)(1 + de)as
as(co) – pm(1 – dp)(1 + de)as = pm(1 – dp)(1 + de)as
as((co) – pm(1 – dp)(1 + de) = pm(1 – dp)(1 + de)es

as/es = pm(1 – dp)(1 + de)      
                co – pm(1 – dp)(1 + de)

Rumus:
Sustainable Growth Rate (SGR) = pm(1-p)(1+de)
                                                                     co-pm(1-dp)(1+de)


Formula di atas didasarkan atas asumsi bahwa:
  1. Keadaan yang akan datang diperkirakan sama dengan keadaan tahun-tahun sebelumnya, sehingga “co” dianggap konstan.
  2. Tidak ada perubahan kebijaksanaan perusahaan di sektor keuangan sehingga “de” dianggap konstan.
  3. Pembiayaan modal sendiri harus berasal dari laba yang ditahan, tidak ada pembiayaan modal sendiri yang berasal dari pengeluaran saham baru.

Kemudian bila ada perubahan kondisi ekonomi yang mengakibatkan:
·         perubahan efisiensi (co)
·         perubahan kebijaksanaan di sektor keuangan, seperti perubahan leverage yang mengakibatkan perubahan tingkat (de), perubahan kebijakan pembagian deviden yang mengakibatkan perubahan (1 – dp) dan pengeluaran saham baru atau penarikan saham lama yang beredar, yang mengakibatkan perubahan sektor pembiayaan. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya SGR yang lebih besar atau lebih kecil dari pertumbuhan yang sebenarnya (actual growth). Bila hal ini terjadi, maka SGR dapat dihitung dengan formula sbb.


SGR = (eo + e1 – dRp)(1 + de)(at) x  (1/es) – 1
                        1-(pm(1+de)at)

eo = modal sendiri awal/tahun ebelumnya
e1 = modal sendiri yang berasal dari pengeluaran saham baru
dRp = deviden dalam rupiah
at = perputaran aktiva (asset turn over), yang merupakan keblikan dari “co”.

Berdasarkan formula di atas, dapat disusun formula lain untuk menghitung tingkat perputaran aktiva (at), rasio utang terhadap modal (de) dan proporsi keuntungan setelah pajak terhadap penjualan (pm) sbb.

Asset turn over (at) =                                     (1+sgr)es                            
                                                (1+de)(eo+e1 – dRp + pm(1+sgr)es)

Debt to equity ratio (de) =                                           (1+sgr)as                            
                                                                  (eo + e1 – dRp + pm(1 + sgr)es(at)

Profit margin =  1 / (1+de)(at) – (eo + e1 – dRp)(1 + sgr)es

Contoh soal 2.
Hitung Sustainable Growth Rate PT ABC, dengan data keuntungan sebagai berikut:

Penjualan
Keuntungan setelah pajak
Keuntungan yang dibagikan sebagai deviden
Aktiva lancar
Aktiva tetap neto
Total Aktiva

Utang lancar
Utang Bank
Modal sendiri
Total Pasiva
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp

Rp
Rp
Rp
Rp
1.375.000
275.000
82.500
700.000
950.000
1.650.000

400.000
500.000
750.000
1.650.000

Dari laporan keuangan di atas dapat dihitung beberapa hal sbb.

pm =  275.000/1.375.000 = 0,20
dp = 82.500/275.000 = 0,30
de = (400.000 + 500.000)/750.000 = 1,20
co = 1.650.000/1.375.000 = 1,20


Sustainable Growth Rate (SGR)                 =             pm(1-dp)(1+de)              
                                                                                       co – pm(1 – dp)(1 + de)

                                                                                =         0,20(1 – 0,30)(1 + 1,20)      
                                                                                       1,20 – 0,20(1 – 0,30)(1 + 1,20)

                                                                                =  0,3452 atau 34,52%


Kesimpulan:
Tingkat pertumbuhan nilai penjualan yang seimbang yang diikuti oleh struktur modal yang stabil adalah 34,52%


Penggunaan Sustainable Growth Rate sebagai dasar penentuan besarnya plafond pembiayaan

Penggunaan SGR untuk penentuan besarnya plafond pembiayaan, maka kita kembali ke konsep dasar berikut asumsinya yaitu
ü  Tingkat efisiensi sama seperti tahun sebelumnya (Co konstan)
ü  Kebijaksanaan perusahaan di sektor keuangan (struktur modal dan pembayaran deviden/pengambilan prive) tidak berubah. Maka untuk meningkatkan volume/nilai penjualan diperlukan adanya tambahan aktiva.
ü  Tambahan aktiva adakan dapat dipenuhi bila ada tambahan modal dan tambahan hutang yang harus tetap menjamin kestabilan struktur kapitalnya.

Dengan konsep dasar tersebut, maka setiap ada tambahan hutang harus diikuti dengan adanya tambahan modal sendiri. Hal ini berarti bahwa setiap adanya tambahan modal sendiri, maka secara langsung akan dapat berpengaruh pada tambahan borrowing capacity yaitu kemampuan mendapat tambahan pembiayaan.

Masih dengan contoh di atas, Direktur PT ABC mengajukan pembiayaan ke Bank sebesar Rp300.000,-. Tambahan pembiayaan yang layak diberikan dengan SGR Models dapat dijelaskan sebagai berikut.

Tambahan penjualan     = 34,52% x 1.375.000 = 474.775,78

Tambahan aktiva yang diperlukan            = 474.775,78 x 1,20
                                                                                = 569.730,94

Tambahan equity             = 0,20(1.375.000 + 474.775,78)(1 – 0,30)
                                                = 258.968,60

Atau                                      = 569.703,94 – 258.968,60
                                                = 310.762,33

Tambahan total utang yang diperlukan sebesar Rp.310.762,33. Bila proposi utang lancar terhadap penjualan dapat dipertahankan, maka besarnya kebutuhan plafond pembiayaan dari bank dapat dihitung sebagai berikut.

Tambahan Utang Lancar               = 400.000/1.375.000 x 474.775,78
                                                                = 138.116,59

Tambahan total Utang yang diperlukan = 310.762,33

Tambahan pembiayaan bank      = 310.762,33 – 138.116,59
                                                                = 172.645,74

Dari perhitungan di atas, tambahan maksimum pembiayaan yang layak diberikan pada PT ABC adalah sebesar Rp172.645,74 atau dibulatkan Rp173.000,-.

Kemudian bagaimana bila terjadi perubahan asumsi dasar tersebut di atas. Misalnya, sebelum memberikan pembiayaan, pihak bank telah berhasil membuat negosiasi dengan PT ABC bahwa: definisi harus ditingkatkan sehingga (co) menjadi 1,15 atau (at) sebesar 0,869565 dan (pm) menjadi 21%. PT ABC juga telah setuju untuk memperbaiki posisi struktur kapitalnya sehingga (de) menjadi 1,00 dengan syarat bahwa tambahan total utang sepenuhnya harus dibiayai bank.
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, maka besarnya SGR dan plafond pembiayaan dari bank dapat dihitung sebagai berikut.

SGR        = (750.000 – 82.500)(1+1,00)(0,8695665) x 1/1.375.000 – 1
                                1 – 0,21(1+1,00)(0,869565)

                = 0,330011929 atau 33,00%

Tambahan modal sendiri baru
= modal lama + pm(es)(as)(1 – dp)
= modal lama + pm(es)(as) – dp(pm)(es)(as)
= 750.000 + 0,21(1.375.000)(1,33) – 0,30(0,21)(1.375.000)(1,33)
= 1.018.826,25

Total utang baru               = 1,00 x 1.018.826,25       = 1.018.826,25
Total utang lama                                                               =    900.000-
Tambahan pembiayaan diperlukan                                118.826,25

Jadi, tambahan pembiayaan bank yang layak diberikan adalah sebesar Rp118.826,25 atau dibulatkan menjadi Rp119.000,-


Penggunaan Sustainable Growth Rate sebagai dasar Monitoring Pembiayaan

Dari contoh soal di atas, setelah pembiayaan sebesar Rp173.000,- diberikan pada PT ABC, pihak bank dapat melakukan pemantauan dengan melihat actual growth rate (tingkat penjualan yang sebenarnya), besarnya capital output ratio, debt to equtity ratio, devidend payout ratio.

Bila actual growth rate lebih kecil dari sustainable growth rate, maka ada indikasi bahwa ada tambahan aktiva sebagai akibat adanya tambahan pasiva yang tidak bisa menunjang pertumbuhan penjualan, yaitu tambahan kekayaan sendiri dan tambahan hutang yang seharusnya dipergunakan untuk membiayai piutang, persediaan atau aktiva lain sebagai penunjang pertumbuhan dipergunakan untuk tujuan lain (side streaming)

Dengan cara financial monitoring seperti ini akan dengan mudah kita dapat menentukan apakah terjadi side streaming atas fasilitas pembiayaan yang telah kita salurkan, sehingga tanda-tanda penyimpangan seperti ini dapat segera diketahui dan dapat menghindarkan terhadap terjadinya pembiayaan macet.

Cash Flow Analysis

Sedangkan cara yang paling baik dan sering dipergunakan untuk mengetahui kebutuhan modal kerja pembiayaan nasabah adalah dengan pendekatan cash flow analysis, yang dapat dijelaskan dalam contoh kasus sebagai berikut.

Contoh kasus
PT Sumber Karja Pratama adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha jasa konstruksi pembuatan menara (tower/antenna) untuk perusahaan di bidang telekomunikasi seperti Telkom, Satelindo, Telkomsel, Mobilsel, Excelcomindo, radio, dll. Ybs saat ini telah memiliki workshop untuk membuat menara/antenna berbagai tipe di atas lahan seluas 3 ha di daerah Purwakarta. Adapun kondisi laporan keuangannya sbb.


Keterangan
1999
2000
Kas dan bank
65.753.000
1.075.000.000
Piutang usaha
850.180.409
801.500.000
Persediaan
901.063.150
501.260.300
Biaya dibayar di muka
1.131.125
1.742.520
Jumlah aktiva lancar
1.817.947.648
2.379.502.820
Aktiva tetap
13.829.734.459
16.045.294.333
Jumlah aktiva
15.647.682.143
18.424.797.153
Utang bank
0
1.650.000.000
Utang dagang
204.395.498
125.525.000
Biaya yg msh hrs dibayar
42.816.198
75.250.500
Utang pajak
4.428.744
6.255.200
Jumlah utang lancar
251.640.440
1.857.030.700
Modal disetor
13.250.000.000
13.250.000.000
Laba ditahan
1.688.371.862
2.146.041.703
Laba tahun berjalan
457.669.841
1.171.724.750
Penjualan & pendapatan
1.444.000.000
2.234.000.000
HPP
722.000.000
782.500.250
Biaya umum & adm.
264.330.159
279.775.000
Laba operasi
457.669.841
1.171.724.750

Ybs saat ini memperoleh order pembuatan tower tipe DH-55 meter dari Satelindo sebanyak 100 unit untuk dipasang di wilayah Indonesia dengan nilai proyek Rp32.287.897.900,-. Jangka waktu pengerjaan maksimal proyek 12 bulan, dan masa pemeliharaan 6 bulan. Diasumsikan bahwa kebutuhan biaya material proyek sebesar 50% dari nilai proyek dan Ybs memperoleh uang muka dari Satelindo sebesar 20% dari nilai proyek, maka berapa kebutuhan dana bank untuk dapat menyelesaikan proyek tersebut dan berapa jangka waktu pembiayaannya jika diproyeksikan keuntungan yang akan diperoleh sebesar 15% dari nilai proyek, self equity 5% dari kebutuhan dana proyek, biaya umum dan administrasi seperti dalam laporan keuangan eksisting, minimum saldo kas akhir bulanan Rp10.000.000,-.

(Data terlampir)

Adapun alat yang bias dipergunakan bank untuk mengevaluasi kebutuhan pembiayaan untuk investasi menggunakan prinsip sbb.


  1. Pertama bank harus mengetahui total kebutuhan dana untuk rencana investasi nasabah.
  2. Bank harus mengetahui berapa porsi modal sendiri (nasabah) yang akan dipergunakan untuk investasi tersebut.
  3. selanjutnya dengan rumus: Total Kebutuhan Dana Investasi dikurangi Modal Sendiri adalah merupakan kebutuhan dana yang bisa diperoleh nasabah dari bank/kreditur lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar